Warga Krenceng Desak Kades Bertanggung Jawab soal Dugaan Penyalahgunaan Tanah Kas Desa

penyalahgunaan tanah kas desa oleh Kepala Desa Krenceng

REALINVESTIGASI.COM, PURBALINGGA
- Forum Peduli Desa Krenceng (FPDK) kembali menggelar audiensi panas terkait dugaan penyalahgunaan tanah kas desa oleh Kepala Desa Krenceng, Siron, Senin (21/11/2025) malam pukul 21.00 WIB. Pertemuan yang berlangsung di Aula Balai Desa Krenceng itu menghadirkan jajaran Forkopimcam dan puluhan warga setelah jawaban pemerintah desa pada audiensi sebelumnya dinilai tidak memuaskan.

Sejak awal, suasana audiensi berjalan tegang dengan sorakan dan protes warga yang menuntut kejelasan terkait dugaan jual-sewa tanah kas desa tanpa prosedur resmi. FPDK memaparkan temuan investigasi dan bukti transaksi sewa lahan dengan nilai total Rp67.750.000 yang diduga tidak seluruhnya masuk kas desa.

Juru bicara forum, Suroso, menyatakan bahwa sebagian dana hasil sewa lahan digunakan untuk kepentingan pribadi kepala desa dan tidak melalui mekanisme musyawarah desa sebagaimana aturan pengelolaan aset desa.

"Kami menemukan bukti penyalahgunaan wewenang oleh Kades Krenceng. Ada praktik jual-sewa tanah potongan, menggarap dan menyewakan tanah kas desa. Sebagian uang masuk kas desa, sebagian lagi digunakan secara pribadi," ujar Suroso dalam audiensi tersebut.

Kronologi dan Kesaksian Penggarap

Pada awal audiensi, Kades Siron membantah keras tudingan telah menggunakan dana hasil sewa lahan untuk kepentingan pribadi. Ia mengklaim bahwa seluruh dana telah digunakan untuk kegiatan pembangunan desa seperti pengaspalan dan pembuatan gerbang desa.

"Saya tidak pernah memakai uang kas desa untuk kepentingan saya sendiri. Uang itu sudah dipakai untuk pengaspalan halaman kantor desa, membuat pintu gerbang, dan tangga," ujarnya.

Bantahan tersebut mulai goyah ketika dua warga penggarap lahan, Ari dan Supri, dihadirkan untuk memberikan kesaksian langsung. Ari mengaku menyetor Rp1.250.000 untuk sewa lahan selama satu tahun di rumah kepala desa, sementara Supri membenarkan hal serupa dengan nilai setor Rp1.100.000.

Kesaksian itu memicu kemarahan warga yang menilai adanya ketidaksesuaian informasi. Saat kembali ditegaskan, Kades Siron menyampaikan bahwa ia lupa, membuat suasana audiensi semakin memanas.

"Huuuu… jangan pura-pura lupa, Pak Kades!" teriak warga dengan nada geram.

Pelanggaran Prosedur Pengelolaan Aset Desa

Menurut FPDK, pengelolaan tanah kas desa wajib melalui mekanisme baku, yaitu sistem lelang dan keputusan melalui musyawarah desa. Forum menilai bahwa praktik sewa lahan tanpa prosedur resmi telah melanggar aturan pengelolaan aset desa.

"Penjualan atau sewa tanah kas desa harus lewat lelang. Alokasi anggaran juga harus dimusyawarahkan dulu, bukan asal diputuskan sendiri," tegas Suroso.

Terpojok oleh bukti dan desakan warga, Kades Siron akhirnya menyampaikan permintaan maaf dan menyatakan kesediaannya untuk bertanggung jawab.

"Saya meminta maaf karena telah menyalahi prosedur penggunaan tanah kas desa. Saya siap bertanggung jawab dan mengembalikan uang kas desa," ucapnya.

Pernyataan itu kembali memicu keributan dan kekecewaan warga yang menilai tindakan tersebut sudah merugikan desa.

Tuntutan Warga dan Potensi Jerat Hukum

Audiensi yang berakhir pukul 01.00 WIB menghasilkan empat tuntutan utama dari warga Desa Krenceng. Tuntutan tersebut mencakup larangan penggunaan uang tanah kas desa tanpa musyawarah, kewajiban pengembalian dana yang diduga diselewengkan, kompensasi atas penyewaan lahan kepada pihak luar, serta permintaan agar aparat penegak hukum memproses dugaan pelanggaran sesuai ketentuan yang berlaku.

Terkait potensi jerat hukum, sejumlah regulasi dapat dikenakan dalam kasus pengelolaan aset desa ini. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa melalui Pasal 26 dan 27 mewajibkan kepala desa mengelola keuangan dan aset desa secara transparan dan akuntabel. PP No. 11 Tahun 2021 juga mengatur bahwa pemanfaatan aset desa harus melalui musyawarah dan didokumentasikan secara resmi.

Selain itu, praktik penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara atau desa berpotensi dijerat Pasal 3 UU Tipikor (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001) dengan ancaman pidana 1–20 tahun penjara serta denda Rp50 juta hingga Rp1 miliar. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah turut mempertegas larangan tindakan koruptif dalam pengelolaan aset desa.

Tindak Lanjut dan Imbauan untuk Desa Lain

Kasus yang mencuat di Desa Krenceng menjadi pengingat bagi desa-desa lain mengenai pentingnya transparansi dan pengawasan publik dalam pengelolaan aset desa. Masyarakat berharap proses penyelesaian kasus ini berjalan objektif dan sesuai hukum, sekaligus menjadi momentum memperbaiki tata kelola aset desa agar lebih akuntabel.

Hingga kini, warga menunggu langkah resmi dari pemerintah desa maupun aparat penegak hukum terhadap temuan yang telah diungkap dalam audiensi tersebut.

Posting Komentar

0 Komentar