Penelusuran lapangan menunjukkan pekerjaan telah berhenti selama berbulan-bulan tanpa aktivitas lanjutan. Padahal, jembatan itu diproyeksikan menjadi akses utama antara Desa Bedagas dan Desa Karangjoho. Ketidakselesaian proyek membuat warga tidak dapat memanfaatkan infrastruktur tersebut sebagaimana mestinya.
Kepala Desa Bedagas, Juwari, mengonfirmasi adanya persoalan dalam proyek ini. Ia menyebut telah bekerja sama dengan seseorang yang disebut sebagai “bule” untuk melanjutkan pengerjaan. Bahkan, Juwari mengaku menyerahkan dana sebesar Rp7.500.000 dan Rp5.000.000 kepada pihak tersebut.
"Sudah ada kesepakatan dengan bule yang akan melanjutkan pembangunan jembatan, tapi sampai sekarang tidak diselesaikan," ujar Juwari dengan nada kesal.
Kronologi dan Dugaan Penyimpangan Administrasi
Identitas pihak “bule” hingga kini tidak jelas, termasuk dasar hukum penunjukannya. Mekanisme penyerahan uang tanpa kontrak tertulis bertentangan dengan aturan pengadaan barang/jasa pemerintah yang mewajibkan prosedur resmi, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pengelolaan BKK yang berasal dari anggaran publik wajib mengikuti ketentuan Permendagri tentang Pengelolaan Keuangan Desa, termasuk tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Ketidaktertiban administrasi dan penunjukan pihak informal berpotensi menimbulkan kerugian negara serta pelanggaran hukum.
Selain itu, persoalan koordinasi antardesa juga mencuat. Jembatan yang menghubungkan dua wilayah seharusnya melibatkan kedua pemerintah desa sejak tahap perencanaan, namun informasi dari pihak Karangjoho menyebutkan sebaliknya.
Pernyataan Kades Karangjoho dan Klarifikasi Pihak “Bule”
Kepala Desa Karangjoho, Nasir, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah diajak berunding sebelum proyek dimulai. Ia mengaku baru dimintai bantuan setelah proyek tersebut mangkrak.
"Kami tidak pernah diajak musyawarah sebelum proyek dimulai. Setelah mangkrak baru dimintai bantuan. Ya kami santai saja, wong bukan urusan kami," tegas Nasir.
Namun, pihak “bule” memberikan keterangan berbeda saat dihubungi melalui WhatsApp pada Rabu (20/11/2025). Ia mengklaim bahwa koordinasi antara Kades Bedagas dan Karangjoho telah dilakukan, serta menegaskan bahwa dana pribadi milik Juwari untuk melanjutkan proyek berada di tangannya.
"Sebenarnya pihak Juwari sudah berkoordinasi dengan Kades Karangjoho. Bahkan dana pribadi dari Juwari untuk proyek itu saya yang pegang. Kapan pun saya siap melanjutkan, tapi kami terhalang oleh beberapa orang yang mungkin ada kepentingan dalam proyek tersebut," tuturnya.
Dasar Hukum dan Potensi Sanksi Pidana
Mangkraknya proyek infrastruktur yang dibiayai anggaran negara, termasuk BKK, dapat menimbulkan konsekuensi hukum apabila ditemukan unsur penyimpangan, kelalaian, atau penyalahgunaan wewenang. Sejumlah regulasi yang relevan antara lain:
1. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Pejabat yang mengelola anggaran wajib mempertanggungjawabkan penggunaan dana secara transparan dan akuntabel. Pelanggaran dapat dikenai sanksi administrasi hingga pidana jika menimbulkan kerugian negara.
2. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (perubahan atas UU 31/1999)
Pasal 3 menegaskan bahwa penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara dapat dipidana maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
3. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Dana pembangunan desa wajib melalui mekanisme APBDes yang sah. Pengelolaan keuangan desa yang tidak sesuai prosedur dapat dikenai sanksi administratif dan pidana sesuai tingkat pelanggaran.
4. Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pengerjaan proyek pemerintah tanpa kontrak resmi dan tanpa penunjukan penyedia yang sah melanggar ketentuan pengadaan. Hal ini dapat berimplikasi pada temuan audit dan potensi tindak pidana jika merugikan negara.
5. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pejabat desa yang tidak menjalankan kewenangan sesuai aturan dapat dikenai sanksi pemberhentian, teguran, hingga diproses hukum apabila menyebabkan kerugian negara.
Status Terkini dan Harapan Warga
Hingga kini, belum ada kepastian mengenai langkah penyelesaian dari pemerintah desa maupun pihak kecamatan. Tidak adanya kejelasan kontrak, alur administrasi yang dipertanyakan, serta perbedaan pernyataan antarperangkat desa memperkuat dugaan lemahnya tata kelola dalam proyek tersebut.
Warga berharap pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh agar pembangunan jembatan dilanjutkan dan dapat segera dimanfaatkan sebagai akses utama antarwilayah.

0 Komentar